Dari Sepercik..
Pematang dan Rurung berbatu itu menjadi saksi. Jejak beronak, basah dan berlumpur yang saban hari menjadi laluan guru-guru luar biasa itu. Kain dan celana terangkat tinggi menghindari cerca lumpur musim hujan. Sendal dikiri, buku dan kitab ditangan kanan. Jangankan ontel. Tas buku pun mungkin belum ada di pasar-pasar. Mereka berjalan dari jauh, seperti membawa segunung berkah yang siap ditebar dengan tulus, di ruang kelas tak rapi, yang tidak pernah dipermasalahkan..
Segalanya bermula hanya dari bayang bayang. Dari wujud wujud yang kelak diharap menjadi suatu bentuk. Dari tiada dan keadaan, dari sebab istiadat kental yang seringkali menjadi blokade terhadap kedatangan cahaya, logika dan baris kode baru.
Dan ketika satu cahaya tak padam, banyak jejak tercipta, seribu langkah menemukan arahnya. Bahkan saat tak ada rotan dan akar, apapun jadi. Asalkan ruang ruang kelas itu terjadi riuh dari suara dikte, dari pertanyaan, dan lirih para guru dengan berbagai ciri khas yang tak terlupakan. Kini kita seperti kehilangan beberapa cluster data, dimana ribuan byte kenangan itu tersimpan. Tapi disaat yang sama, membekas berbagai panduan. Dan kita menjadi kuat, meski belum sampai jauh.
Di sebuah lekuk yang belum terpeta oleh sorot modernitas, Madrasah itu lahir bukan dari limpahan dana, melainkan dari limpahan niat. Ia tidak muncul dari sistem yang mapan, tapi dari semangat yang melampaui hitungan logistik. Pendirinya, pejuang-pejuangnya berasal dari Gen yang mantranya masih tajam. Yang ilmu-ilmunya tercerna dari kitab -kitab lama. Pandangan dan wawasan yang belum ternodai algoritma mesin yang culas. Masih terlihat jelas, kain-kainnya tidak menjuntai dengan rapi. Tepi tepi pecinya, juga sudah memerah.
Jumlahnya bisa dihitung jari, tapi bukan itu yang menghitung daya juangnya. Karena di sana, satu guru bukan hanya mengajar, tapi menjadi api kecil yang menyalakan ratusan pelita. Mereka bukan sekadar pengajar, tapi penjaga harapan. Dari ruang kelas yang panas. Bangku-bangku yang tak seragam, dan meja yang pincang, ilmu tetap mengalir seperti mata air yang tak kenal musim.
Kedua madrasah ini lahir dari kegelisahan, dan juga takut. Kegelisahan melihat masyarakat yang terlalu lama lelap dalam pongah doktrin lama. Takut.. Bahkan hanya untuk tahu bagaimana merangkai mimpi. Maka dari kegetiran itu, sekelompok jiwa mendirikan lembaga ini sebagai upaya menyibak gelap, memberi arah, menyusun tangga bagi siapa saja yang ingin naik, bukan sekadar menunggu dan tidak berkenan masuk antrian.
"Pendidikan bukan tempat menunggu keajaiban,
tapi tempat mencipta kemungkinan."
Guru-guru di sana bukan mengejar karier, apalagi THR dan tunjangan. Mereka hadir dengan wajah lelah namun teduh. Mereka tahu bahwa gaji tak bisa menggantikan keberkahan, dan fasilitas tak bisa menggantikan ketulusan. Maka mereka tetap datang setiap pagi, menulis dipapan tulis, kapur memutihi tangan, dan senyum yang entah bagaimana tetap bertahan meski semua serba kekurangan. Kita juga tidak pernah bertanya, "Apakah pagi itu beliau sarapan?"
Mangu.. Bukanlah typo, tapi sebuah ritual yang melahirkan catatan dari sekian banyak sektor ingatan, dari blok-blok hard-drive yang setia menyimpankan sejumlah kenangan kita bahwa betapa madrasah ini dengan segala kekurangannya, bahwa bagaimana para guru dengan segala ciri khas berkahnya membimbing kita melebihi apa yang kita dapat dari keluarga.
Mangu, kita harus termangu..
Mencoba mengamankan rasa hening dan renung, memaksa keluar haru dan takjub agar mengijinkan kita untuk mengenang, dan lalu memuliakan mereka.
Catatan ini adalah jeda batin dari ngiang kenangan bahwa madrasah ini, guru-guru kita, telah mewarisi kisi terdalam untuk memaknai hidup. Bahwa dalam dunia yang sering tergesa, termangu adalah keberanian. Keberanian untuk diam dan mendengar gema masa lalu, yang sebenarnya tak pernah benar-benar pergi. Di balik papan tulis yang sudah lapuk, di bawah atap yang bocor, di antara suara murid-murid yang hanya punya satu buku untuk semua kepala, kami mendengar itu:
Suara perjuangan tanpa pamrih. Suara ilmu yang tak pernah minta ditebus. Desis, derit, dan lotot-lotot tajam, yang ternyata semua itu adalah proses dimana besi keras sedang ditempa menjadi berguna dan bermakna.
Madrasah ini tidak didirikan untuk mencetak gelar semata. Ia berdiri di atas tekad dan keyakinan, bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tanah kecil:
Satu persatu, langkah kecil diletakkan.
Satu persatu, kata-kata ditanam.
Dan tanpa sadar, kita menumbuhkan sesuatu, itulah: Akar.
Akar yang menjalar ke hati anak-anak desa,
yang kelak akan menjadi cahaya di tempat yang bahkan masih gagap bagaimana teknologi AI dibuat.
Di ruang sederhana itu,
kita diajarkan bukan hanya rumus,
tapi cara berdamai dengan kekurangan.
Lalu berontak, melawan kekurangan itu.
Bukan hanya hafalan, tapi keberanian untuk tidak tunduk pada keadaan.
Guru-guru kami tidak pernah punya podium tinggi.
Tapi mereka punya bahu yang kuat.
Mereka tidak memakai dasi,
tapi senyumnya mengikat ketulusan.
Mereka tidak mencatat absensi demi tunjangan,
tapi mencatat nama-nama muridnya dalam doa malam. Dan kami tumbuh dalam pelukan itu, pelukan keikhlasan yang tak bisa dibayar.
Dari madrasah yang pernah dianggap tak layak,
lahirlah wajah-wajah yang kini berpendar di pelosok-pelosok. Bukan sebagai selebriti, tapi sebagai pribadi yang berani berdiri.
Bukan untuk memamerkan kesuksesan,
tapi untuk mewariskan keteladanan.
Dari kekurangan, mereka belajar cukup.
Dari cukup, mereka belajar bersyukur.
Dan dari syukur, mereka belajar tangguh.
Beginilah kami tumbuh:
dari serpihan cahaya, kami belajar menyala.
Dari tiada, kami belajar makna.
Dari lelah, kami belajar lillah.
Kini, ketika langkah-langkah kami telah berpencar,
kami tahu betul dari mana semua ini bermula.
Bukan dari ruang kelas yang megah, Bukan dari ruang yang penuh fasilitas, tapi dari tikar lusuh di ruang kecil dengan satu lampu redup.
Bukan dari laboratorium modern, tapi dari percakapan antara guru dan murid yang penuh iman dan harap..
Mereka adalah insan yang mendidik bukan saja dengan suara keras, tapi dengan keteladanan yang nyaring. Mereka tak hanya membacakan buku, tapi menghadirkan hidup yang bisa dibaca. Dalam deras hujan dan jalan yang becek, mereka tetap melangkah, membawa ilmu ke dalam ruang-ruang pikiran yang haus.
"Dari derap kaki penuh lumpur,
tumbuh generasi yang bersih dari keputusasaan."
Tak banyak dari kita yang tahu bagaimana tempat ini berdiri. Tak banyak yang mengerti mengapa ia tetap berdiri. Meski seringkali hampir padam, ia menolak untuk mati. Ia tetap ingin mengalir, meski kadang lebih sering tergenang. Tapi dari tempat sederhana ini, lahir anak-anak desa yang kini menjadi guru dan pendakwah, menjadi dokter dan doktor, professor, teknisi dan coder, juga pemimpin. Mereka tak lahir dari kemewahan, tapi dari keberkahan. Dari keterbatasan yang melatih kekuatan. Dari tiada, menjadi ada. Jalan jalan terbuka. Titik terang bermunculan. Kendati banyak hal masih terlihat jauh.
"Apa yang dimulai dari kekurangan,
tak berarti kekurangan akan menjadi akhir.
Kadang Tuhan memilih tanah paling keras
untuk menumbuhkan akar paling kuat."
Jejak-jejak itu melebar ke berbagai persimpangan. Para alumni dari sekolah sederhana itu tersebar, terlempar demi menelisik makna hidup. Mereka membawa sikap rendah hati yang tak diajarkan di universitas, tapi diajarkan dalam keseharian para guru luar biasa itu. Mereka adalah bukti bahwa pendidikan bukan murni soal fasilitas, tapi soal filosofi. Soal keberanian menciptakan terang di tengah gelap. Soal kasih yang tak pernah dihitung, tapi selalu dihidangkan.
"Hah, andai bisa terulang, aku akan membiarkan puluhan penggaris kayu itu menghancurkan kujur beringasku. Membiarkan Bentoel dan Kelobot meng-engah nafasku saat itu." --Bayangkan saja, bahkan sebelum 2 rokok legendaris itu terjepit di mulut, tanpa boleh dipegang, dan lalu mata berair perih, seperti biasa 'Pelemeng dan Bantal' selalu dihidangkan sebelum vonis dimulai.
"Panjang umur dan teruslah sehat, wahai guru-guru kami!"
Madrasah ini bukan sekadar sekolah. Ia adalah saksi perjalanan ruh yang tak mau menyerah. Ia adalah nadi yang mengalirkan semangat dalam tubuh masyarakat yang dulu lelap. Ia adalah monumen tanpa marmer, tapi abadi dalam jiwa-jiwa yang terbangun.
"Dari sepercik, seribu langkah berderap.
Dari ruang sempit, terbuka jendela cakrawala.
Dari guru yang tak pamrih,
lahir manusia yang tahu makna hidup:
bahwa menjadi berarti,
lebih penting dari menjadi terkenal."
Maka biarlah catatan ini menjadi pengingat: bahwa pendidikan sejati tak membutuhkan panggung mewah untuk bersinar. Ia hanya butuh hati yang menyala. Dan dari satu cahaya, seribu langkah bisa menyala. Menuju kehidupan yang lebih tinggi, lebih terang, dan lebih manusiawi.